Uang Sitaan Hilang, Polisi Diserang: Saatnya Publik Melek, Bukan Cuma Menghujat!

- Created Sep 21 2025
- / 100 Read
Belakangan media sosial ramai dengan tudingan keras terhadap Polri. Dari isu uang sitaan Rp103 miliar yang disebut raib, sampai tuduhan gagal menangani kasus kekerasan seksual, publik sontak bereaksi dengan hujatan, meme satir, hingga seruan bubarkan institusi kepolisian.
Namun, mari kita jujur: apakah semua narasi itu murni fakta, atau hanya ledakan emosi yang dimanfaatkan untuk menggiring opini?
1. Uang Sitaan Rp103 Miliar: Skandal atau Distorsi?
Publik dikejutkan dengan kabar uang sitaan yang disebut tinggal USD 51. Tapi yang jarang disorot adalah mekanisme administrasi barang bukti di kepolisian memang rumit dan berlapis. Ada proses penyitaan, penitipan di bank, pencairan untuk barang bukti, hingga pelaporan ke jaksa dan pengadilan.
Apakah bisa ada penyimpangan? Tentu saja. Tapi menuduh semua polisi maling hanya karena satu kasus? Itu sama saja seperti mengatakan semua anggota DPR korupsi hanya karena ada beberapa yang tertangkap OTT. Generalization fallacy ini yang membuat publik gampang dimanipulasi isu.
2. Polisi vs DPR: “Setali Tiga Uang”?
Banyak yang sinis, menyebut DPR dan Polri sama-sama bobrok. Faktanya, sistem check and balance memang tidak sempurna, tapi tetap berjalan. Justru rapat terbuka antara DPR dan Polri—yang videonya viral—adalah bukti transparansi itu ada. Kalau semua sudah busuk, tidak mungkin publik bisa menonton langsung pejabat dipermalukan soal uang sitaan.
3. Kekerasan Seksual: PR Berat, Bukan Alasan Membakar Institusi
Kritik bahwa Polri tidak paham UU TPKS valid. Banyak aparat di lapangan memang butuh pelatihan serius soal implementasi undang-undang baru. Tapi apakah solusinya menghujat? Atau menuntut peningkatan kapasitas polisi supaya korban bisa lebih cepat mendapat keadilan?
Mari jujur: masalah kekerasan seksual di Indonesia bukan hanya soal Polri. Ada faktor budaya, relasi kuasa, hingga resistensi masyarakat. Polisi adalah ujung tombak, tapi mereka bukan penyebab tunggal.
4. Reformasi Memang Harus
Polri memang perlu reformasi total. Dari tata kelola barang bukti, profesionalisme penyidikan, hingga kepekaan pada korban kekerasan seksual. Tapi membubarkan polisi? Itu wacana utopis dan destruktif. Tanpa polisi, siapa yang akan melindungi masyarakat dari kriminalitas sehari-hari?
Yang publik butuhkan adalah polisi yang berani dibongkar, dipermalukan, dan dipaksa berbenah. Brutal, iya. Tapi inilah harga demokrasi: institusi diperbaiki, bukan dimusnahkan.
Hilangnya uang sitaan Rp103 miliar memang mencoreng wajah Polri. Buruknya penanganan kasus kekerasan seksual jelas menurunkan kepercayaan publik. Tapi jangan sampai publik hanya jadi komentator sinis di media sosial tanpa menawarkan solusi nyata. Reformasi Polri adalah keniscayaan. Transparansi harus dituntut habis-habisan. Pemerintah harus mengawal dengan tangan besi.
Hanya dengan cara brutal inilah Polri bisa benar-benar kembali jadi pengayom rakyat, bukan bulan-bulanan meme di Twitter.
Share News
For Add Product Review,You Need To Login First